Keringat
yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya saat saya bertemu. Raut
wajahnya sedikit lelah, namun ia toh tak menggubrisnya. Dari serambi
Masjid Nurul Husna Ibnu Tohir bercerita
tentang idealismenya dalam menuntut ilmu.
Lelaki
berumur 26 tahun ini sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Indonesia
di Universitas Indonesia. Namun, pada transisi tahun 2006-2007, ia tak
lebih dari seorang karyawan lulusan STM Negeri (sekarang SMK Negeri 3 ) yang
bimbang tentang masa depannya. Pada saat itu, gaji bulanan telah ia dapatkan
sebagai seorang drafter di sebuah perusahaan konsultan bangunan di
kawasan Batam Centre
.
Mimpi untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentu merupakan sebuah dilema karena
kuliah akan membuatnya mengorbankan pekerjaannya. Hal itu belum termasuk biaya
kuliah yang harus ia tanggung. Mengandalkan orang tua jelas tak mungkin.
Profesi ayahnya sebagai guru mengaji di sebuah musala dekat rumah hanya cukup
untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sekaligus sekolah adiknya.
Sebagai
sulung, ‘anak STM’ ini diharapkan mampu membantu keluarga secara finansial,
setidaknya dengan cara mencukupi kebutuhan pribadinya sendiri. Namun, sekali
lagi, ia ingin kuliah.
Mengapa ia begitu ingin kuliah? Bukankah orang tuanya
menyekolahkan di STM agar cepat bekerja?
“Mengikuti
kata hati. Saat itu bukan lagi pertimbangan-pertimbangan ribet nan
memusingkan, tetapi sudah dalam tataran jiwa. Saat itu pun sudah kerja, tetapi
memang ‘keinginan’ ada di kuliah. Jadi, itulah pilihannya,” jawab pria yang
akrab dipanggil Ohir ini.
Awal Januari
2010 merupakan momen penting baginya. Saat itu, Oghi menetapkan hati untuk
serius menggapai cita-cita mengenyam bangku kuliah. Berbekal gajinya sebagai
seorang perancang ruang bangunan, pria yang berdomisili di Batam ini nekat
masuk bimbingan belajar (bimbel) untuk memahami pelajaran IPS SMA. Waktu luang
sekecil apapun dimanfaatkannya untuk belajar, baik di kantor maupun di dalam angkot. Targetnya
jelas: lulus SIMAK UI 2010.
Tiga bulan
menyulap diri menjadi anak SMA sambil menjalani pekerjaan
sebagai drafter terlihat seperti sebuah kegilaan tersendiri bagi Ohir. Sempat ia
berpikir bahwa ini merupakan suatu pertaruhan yang tak berguna. Realitas yang
hadir dalam wacana ‘bagaimana bayar biayanya?’ hadir untuk menghalangi
idealisme yang mulai berkembang.
“Sebetulnya harapan saya sudah punah saat itu. Dan itu
berhubungan dengan materi (biaya). Namun, kali ini mentor saya berkata dengan
lantang, ‘Duit nanti aja dipikirin. Sekarang fokus
belajar!! Emang, lu udah yakin bisa lolos?’
Ucapannya bikin saya semangat lagi,” kenangnya.
Untuk
membentengi diri dari pesimisme yang mulai melanda, ia mencari dukungan
sana-sini. Buku The Secretkarangan Rhonda Byrne, cerita seorang mahasiswa
luar kota yang berhasil masuk UI dengan biaya pas-pasan, serta nasihat dari
seorang teman nyatanya berhasil mendongkrak motivasinya hingga ia ‘kembali ke
jalan yang benar’. Ohir kembali memaknai kekuatan sebuah mimpi yang
belakangan dianggap klise bagi sebagian orang. Ia dengan bersemangat menggapai
mimpi itu agar menjadi suatu kenyataan yang bisa diraih.
Waktunya
tiba. Maret 2010, ia menjalani Seleksi Masuk Universitas Indonesia (SIMAK UI).
Di lokasi ujian, ia sempat bertemu teman lama satu sekolah yang ternyata
memiliki ‘kegalauan’ yang sama untuk banting setir dari dunia teknik.
Bersama-sama, mereka berdoa agar dapat bertemu lagi sebagai mahasiswa di kampus
yang sama.
Segala puji bagi-Nya.
Beberapa bulan setelah ujian, Ohir dinyatakan masuk UI. “Waktu itu, saya langsung
lari keliling terminal Rawamangun sambil teriak-teriak saking senengnya.” Sambil
tetap berdoa, pria Jawa ini bersiap untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Ia
mengundurkan diri dari pekerjaannya, meminta keringanan biaya dari pihak
kampus, serta memikirkan pekerjaan sambilan agar dapat membiayai kuliahnya.
Selain itu, program beasiswa dari pemerintah pun dibidiknya.
Tuhan tak
ragu mencurahkan rizki padanya. Saat ia melayangkan permintaan pengunduran
diri, atasan justru membolehkannya tetap bekerja di
Jakarta melalui anak cabang perusahaan sambil menyesuaikan dengan jadwal kuliah. Ohir tak
kehilangan penghasilan bulanannya. Rencananya ‘direvisi’ oleh Sang Maha Pencipta.
Rezeki lain
datang. Biaya kuliah yang tadinya 5 juta rupiah sebagai uang pangkal dan lima
juta rupiah lagi sebagai biaya kuliah per semester ‘terpangkas’ menjadi 300
ribu rupiah (uang pangkal) dan 2 juta (biaya kuliah per semester). “Ini karena
saya menunjukkan kemiskinan saya, hahahaha….” Ohiri tergelak.
Kedua rezeki di atas
akhirnya sempurna oleh rezeki ketiga. Oghi mendapatkan Beasiswa Bidik-Misi
dari
Kemendiknas sebesar Rp5 juta. “Dua juta saya alokasikan untuk biaya
kuliah, sisanya untuk biaya hidup.”
Apa rahasia dibalik pencapaiannya selama ini?
“Rahasianya
nggak ada...kecuali yakin sama kekuatan dahsyat kita sendiri dan percaya bahwa
hasilnya nanti adalah yang terbaik buat kita. Nothing to lose,
istilahnya.”
Sebagai
penutup perbincangan kami siang itu, dengan tatapan matanya yang cerah dan
senyumnya yang khas, Ohir berpesan untuk anak sekolah yang mengalami
keterbatasan biaya namun tetap ingin melanjutkan pendidikannya.
“Ketika masih dalam usia anak dan remaja, jangan pernah
berpikir bahwa bekerja lebih baik ketimbang belajar (sekolah). Belajar itu
wajib, musti, kudu. Belajar itu tuntutan hidup. Belajar itu sampai akhir
hayat. Berusahalah terus untuk bersekolah.”
Terima kasih, Ohir! Kau dan perjuanganmu telah menginspirasi kami....(FP B.6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar